Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan
pada tanggal 8-20 September 2008. Survei ini melibatkan 1.239 responden
dengan toleransi kesalahan 2,8% pada tingkat kepercayaan 95%. Sulit
dipungkiri bahwa peluang SBY pada pilpres 2009 sangat bergantung pada
kinerja pemerintahannya di bidang ekonomi, terutama soal pengentasan
kemiskinan.
Dua
Paradigma
Ada semacam kesepakatan luas, jika
pengentasan kemiskinan menjadi motif utama dari kebijakan pembangunan,
maka pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin menjadi tujuan
terpenting seluruh kegiatan. Namun, dalam kaitan itu, ada dua paradigma
berbeda tentang cara pencapaiannya.
Pertama,
keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah obat paling mujarab untuk
mengentaskan kemiskinan karena akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun,
realitas empiris menunjukkan hal yang sebaliknya. Hal itu tak lain
disebabkan oleh maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga
kerja.
Kedua, keyakinan bahwa orang
miskin harus dibantu untuk mendapatkan penghasilan. Sektor usaha kecil
dan menengah (UKM) pun diyakini sebagai sendi utama perekonomian rakyat.
Asumsinya ialah ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal
tersedia, maka usaha kecil menengah dipercaya akan mampu meningkatkan
investasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayangnya, sebagimana
paradigma pertama, belum ditemukan bukti-bukti empiris yang menyakinkan
guna mendukung kebenaran asumsi tersebut. Berpijak dari kedua paradigma
di atas, agaknya memang tidak ada resep instan yang dapat dijadikan
sebagai sebuah pegangan pasti dalam kebijakan pengentasan kemiskinan.
Empat
Acuan
Meskipun demikian, penulis berpandangan ada
beberapa hal yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintahan SBY-JK guna
memaksimalkan upaya pengetasan kemiskinan dalam sisa satu tahun masa
pemerintahannya.
Pertama, pengetasan
kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus sangat mempertimbangkan
tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar
dunia. Negara seperti Indonesia yang tingkat pertumbuhan industrinya
belum maju dan sektor informalnya masih sangat mendominasi, perlu
mempertimbangkan strategi yang pas. Hasrat untuk mampu bersaing dalam
pasar global selayaknya diimbangi dengan berbagai upaya untuk mendukung
usaha kecil sebagai basis industrialisasi.
Kedua,
negara berkembang dengan potensi pasar yang luas seperti Indonesia
sangat rentan diintervensi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
(baca: World Trade Organization, International Monetary
Fund, dan World Bank) serta negara-negara industri maju
untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Jika permintaan itu
dipenuhi, maka tidak pelak lagi akan berdampak pada anjloknya tingkat
upah pekerja yang selanjutnya potensial berujung pada meningkatnya
jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu berarti jumlah orang miskin
di Indonesia akan semakin bertambah banyak.
Ketiga,
kesempatan yang sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha
kecil dan menengah padat modal maupun antar usaha kecil itu sendiri.
Pemberian kesempatan yang sama tersebut tentunya harus diimplementasikan
lewat berbagai kebijakan dan regulasi.
Keempat,
pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta strategi pembangunan
yang spesifik hanya akan dapat diterima luas jika hal tersebut dilakukan
dengan melibatkan seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat, terutama
kaum tak berpunya. Jadi, tak hanya melibatkan para pengusaha atau kaum
berpunya saja. Dengan mengacu pada empat hal di atas, dalam kaitan
perumusan kebijakan pengetasan kemiskinan, maka Indonesia diharapkan
dapat mencapai salah satu tujuan Millenium Development Goals
(MDGs), yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk miskin. MDGs merupakan
proyek kemanusiaan yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) selama kurun waktu lima belas tahun (2000-2015). MDGs disepakati
oleh seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Dengan demikian hanya
tujuh tahun sisa waktu yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengurangi
separuh jumlah penduduk miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar